Murah karena Semua Diproduksi Sendiri
Bagaimana
Palang Merah Thailand bisa ’’menjual’’ darah dengan harga termurah di
dunia? Benarkah karena besarnya dukungan sponsor? Kalau ya, bagaimana
mereka bisa menggaet sponsor yang begitu banyak? Inilah bagian terakhir
laporan wartawan Jawa Pos (grup Radar Lampung) TITIK ANDRIYANI tentang
Palang Merah Thailand.
DAHULU, 25-30 tahun yang lalu, pasien yang membutuhkan darah (calon resipien) tak jarang harus membawa sendiri donornya, yang golongan darahnya sesuai pasien. Sebab pada masa itu, persediaan darah di PMI masih sangat terbatas. Jumlah donor yang secara sukarela menyumbangkan darahnya juga masih sangat sedikit.
Membawa donor sendiri tidak berarti pasien bisa mendapatkan darah dengan cuma-cuma alias gratis. Sebab untuk mengambil darah dari tubuh donor, butuh biaya untuk jarum, kantong darah, serta reagent (zat kimia untuk memeriksa kelayakan darah dan golongannya). Itu kalau yang dibutuhkan adalah whole blood atau yang oleh masyarakat awam dikenal dengan istilah darah segar.
Kalau yang dibutuhkan adalah plasma, trombosit, atau sel darah merah saja, biaya yang diperlukan lebih besar. Sebab, darah dari donor harus menjalani proses tambahan untuk memisahkan komponen-komponennya.
Susahnya kalau si pasien tidak punya keluarga yang golongan darahnya sama. Atau, jumlahnya tidak sebanyak darah yang dia butuhkan. Dengan demikian, dia harus mencari orang yang mau mendonorkan darahnya. Itu pasti tidak bisa gratis. Harus ada ’’tanda terima kasih”-nya.
Pada masa itu, mencari donor bayaran seperti ini tidak sulit karena banyak berkeliaran di sekitar unit transfusi darah PMI. Mereka sengaja mangkal di situ untuk ’’menyambut” para keluarga pasien yang membutuhkan darah. Selain menawarkan dirinya sendiri, ada yang berperan sebagai perantara alias makelar.
Makelar darah tidak berbeda dari makelar tiket pesawat dan kereta api, rumah, mobil dan motor, atau yang lain. Mereka menjadi perantara antara penjual dan pembeli. Dari setiap transaksi, mereka mendapat imbalan yang besarnya sangat bergantung pada situasi saat itu. Makin kritis situasinya, semakin besar imbalan yang mereka minta.
Untungnya, sekarang praktik makelar seperti itu sudah tidak ada karena dianggap tak manusiawi. Tetapi, donor bayaran di Indonesia masih ada sampai sekarang. Bedanya, donor seperti itu dibutuhkan pasien saat stok darah tidak tersedia di PMI karena habis. Itu biasanya dialami pasien-pasien golongan darah AB atau darah be-rhesus yang memang langka. Untungnya, sekarang ada kelompok sosial Blood for
Life yang memiliki jaringan sangat luas, sehingga bisa membantu banyak pasien yang kekurangan darah.
Di Indonesia, jumlah donor bayaran masih cukup banyak. Yakni sekitar 20 persen di antara total donor. Itu adalah tantangan bagi PMI, terutama unit transfusi darah (UTD)-nya.
Di Thailand, donor seperti itu sudah tak ada. ’’Di sini semua donor menyumbangkan darahnya secara sukarela,” jelas Tasanee Sakuldamrongpanich, deputi direktur National Blood Center (NBC) Palang Merah Thailand. NBC adalah UTD-nya Palang Merah Thailand (PMT).
Bagaimana PMT bisa menyingkirkan donor bayaran? Itu bukan hal mudah. Butuh waktu, kerja keras, dan strategi yang cerdas. Kesadaran masyarakat akan pentingnya donor darah dan tingginya harga yang harus dibayar untuk mendapatkan darah menjadi faktor utama untuk bisa mempercepat penghapusan donor bayaran tersebut.
Bila membayar donor pengganti lebih murah daripada membayar ke PMI, peluang bagi donor bayaran untuk eksis akan semakin besar. Dengan begitu, solusi bagi donor bayaran adalah harga darah yang murah.
’’Menjual” darah dengan harga murah menjadi tantangan yang sangat besar bagi PMI. Sebab, biaya terbesar untuk menjadikan darah donor siap pakai ternyata ada pada kantong darah dan reagent.
Padahal, Indonesia masih mengimpor kantong darah. Memang, pernah ada wacana dari mantan Wapres Jusuf Kalla yang kini menjadi ketua umum PMI untuk membangun sendiri pabrik kantong darah. Tetapi sampai sekarang, impian itu belum terlaksana. Setiap tahun Indonesia membutuhkan kira-kira 2,5 juta kantong darah, sesuai jumlah darah yang dikelola PMI.
Menurut standar WHO, jumlah persediaan darah yang ideal di suatu negara berkisar 3-5 persen jumlah penduduk. Dengan hanya 2,5 juta kantong darah per tahun, berarti Indonesia baru bisa memenuhi sekitar 1 persennya saja.
Thailand sudah mampu mencapai angka 3,5 persen. Negara-negara maju seperti Jepang dan AS sudah bisa mencapai angka ideal tersebut.
Meski baru mencapai 3,5 persen, PMT sudah ditunjuk WHO sebagai pusat pelatihan bagi unit-unit transfusi darah se-Asia Tenggara. Itu merupakan bukti kehebatan manajemen pengelolaan darah di Thailand.
Kecanggihan manajemen NBC, yang merupakan pusat penanganan dan pengelolaan darah di PMT, memang harus diakui. Salah satunya dalam menekan harga jual darah ke masyarakat.
Sebagaimana yang sudah saya sebutkan dalam tulisan kemarin, harga jual darah di Thailand merupakan yang termurah di dunia. Mereka bisa mencapai itu karena memproduksi sendiri kantong darah. Sebanyak 50 persen kebutuhan kantong darah di Thailand dipenuhi pabrik milik PMT. Sisanya mereka beli dari pabrik lain yang juga berlokasi di Thailand. Dengan begitu, mereka tak perlu membayar bea masuk yang biasanya sangat tinggi.
Begitu pula dengan reagent. PMT juga tidak mengimpor atau membeli dari pabrik lain. Mereka punya pabrik sendiri. Begitu pula untuk beberapa jenis serum.
Yang masih harus diimpor sampai saat ini adalah bahan untuk pembuatan plasma. Itu pun sudah direncanakan untuk dibuat sendiri oleh PMT. Sungguh sebuah pemikiran bisnis yang luar biasa.
Khusus untuk serum, PMT memiliki unit khusus untuk memproduksi serum anti-bisa ular, bisa serangga mematikan, dan bisa binatang lain. Ada sekitar 3.000 ular berbagai jenis yang dipelihara di kompleks PMT yang terletak di Jalan Henry Dunant, Bangkok.
Setiap hari dilakukan pengambilan bisa dari ular-ular itu. Proses pengambilan bisa tersebut dimanfaatkan untuk menarik turis. Untuk menyaksikan proses itu, orang harus membayar tiket. Penghasilan mereka dari turis yang melihat pengambilan bisa atau sekadar melihat pertunjukan ular itu relatif besar.
Penghasilan unit tersebut jadi semakin besar setelah bisa-bisa ular itu menjadi serum. Sebab, serum-serum tersebut tidak hanya digunakan untuk kepentingan PMT sendiri, tapi juga diekspor ke negara-negara lain.
Karena hampir semua kebutuhan dibuat sendiri, tidak mustahil bila PMT bisa menjual produk darah siap pakainya dengan harga amat murah.
Pembuatan kantong darah dan peralatan medis seperti slang infus dan filter untuk dialisis (cuci darah) membutuhkan tingkat sterilitas yang luar biasa, melebihi sterilnya kamar operasi.
Saking sterilnya, bukan hanya sistem pendingin dan penyedotan udara (exhauser)-nya yang dibuat khusus, tapi juga tingkat sterilitas pegawainya. Karena itu, jangan heran kalau seluruh pegawai di bagian tersebut diharuskan mengenakan seragam khusus yang menyerupai astronot, cuci tangan dan mengeringkannya di tempat khusus, serta harus melewati pintu khusus yang dilengkapi alat pensteril pakaian dan tubuh.
Bukan hanya itu. Para pegawai tersebut juga tidak boleh mengenakan bedak atau perias wajah lain, cat kuku, perhiasan apa pun, serta memanjangkan kuku selama bekerja.
Begitu sterilnya pabrik kantong darah itu, seluruh tamu yang datang harus menandatangani pernyataan untuk tidak membeberkan semua yang dilihat di ruang produksi.
Maklum, memproduksi kantong darah tidaklah mudah. Selain steril, kantong darah harus dilapisi zat khusus untuk menjaga agar darah dan komponennya tidak membeku atau berubah sifat selama berada dalam kantong. Karena itu, kantong darah memiliki masa kedaluwarsa yang relatif pendek, sehingga hanya dibuat berdasar pesanan.
source : http://www.radarlampung.co.id
DAHULU, 25-30 tahun yang lalu, pasien yang membutuhkan darah (calon resipien) tak jarang harus membawa sendiri donornya, yang golongan darahnya sesuai pasien. Sebab pada masa itu, persediaan darah di PMI masih sangat terbatas. Jumlah donor yang secara sukarela menyumbangkan darahnya juga masih sangat sedikit.
Membawa donor sendiri tidak berarti pasien bisa mendapatkan darah dengan cuma-cuma alias gratis. Sebab untuk mengambil darah dari tubuh donor, butuh biaya untuk jarum, kantong darah, serta reagent (zat kimia untuk memeriksa kelayakan darah dan golongannya). Itu kalau yang dibutuhkan adalah whole blood atau yang oleh masyarakat awam dikenal dengan istilah darah segar.
Kalau yang dibutuhkan adalah plasma, trombosit, atau sel darah merah saja, biaya yang diperlukan lebih besar. Sebab, darah dari donor harus menjalani proses tambahan untuk memisahkan komponen-komponennya.
Susahnya kalau si pasien tidak punya keluarga yang golongan darahnya sama. Atau, jumlahnya tidak sebanyak darah yang dia butuhkan. Dengan demikian, dia harus mencari orang yang mau mendonorkan darahnya. Itu pasti tidak bisa gratis. Harus ada ’’tanda terima kasih”-nya.
Pada masa itu, mencari donor bayaran seperti ini tidak sulit karena banyak berkeliaran di sekitar unit transfusi darah PMI. Mereka sengaja mangkal di situ untuk ’’menyambut” para keluarga pasien yang membutuhkan darah. Selain menawarkan dirinya sendiri, ada yang berperan sebagai perantara alias makelar.
Makelar darah tidak berbeda dari makelar tiket pesawat dan kereta api, rumah, mobil dan motor, atau yang lain. Mereka menjadi perantara antara penjual dan pembeli. Dari setiap transaksi, mereka mendapat imbalan yang besarnya sangat bergantung pada situasi saat itu. Makin kritis situasinya, semakin besar imbalan yang mereka minta.
Untungnya, sekarang praktik makelar seperti itu sudah tidak ada karena dianggap tak manusiawi. Tetapi, donor bayaran di Indonesia masih ada sampai sekarang. Bedanya, donor seperti itu dibutuhkan pasien saat stok darah tidak tersedia di PMI karena habis. Itu biasanya dialami pasien-pasien golongan darah AB atau darah be-rhesus yang memang langka. Untungnya, sekarang ada kelompok sosial Blood for
Life yang memiliki jaringan sangat luas, sehingga bisa membantu banyak pasien yang kekurangan darah.
Di Indonesia, jumlah donor bayaran masih cukup banyak. Yakni sekitar 20 persen di antara total donor. Itu adalah tantangan bagi PMI, terutama unit transfusi darah (UTD)-nya.
Di Thailand, donor seperti itu sudah tak ada. ’’Di sini semua donor menyumbangkan darahnya secara sukarela,” jelas Tasanee Sakuldamrongpanich, deputi direktur National Blood Center (NBC) Palang Merah Thailand. NBC adalah UTD-nya Palang Merah Thailand (PMT).
Bagaimana PMT bisa menyingkirkan donor bayaran? Itu bukan hal mudah. Butuh waktu, kerja keras, dan strategi yang cerdas. Kesadaran masyarakat akan pentingnya donor darah dan tingginya harga yang harus dibayar untuk mendapatkan darah menjadi faktor utama untuk bisa mempercepat penghapusan donor bayaran tersebut.
Bila membayar donor pengganti lebih murah daripada membayar ke PMI, peluang bagi donor bayaran untuk eksis akan semakin besar. Dengan begitu, solusi bagi donor bayaran adalah harga darah yang murah.
’’Menjual” darah dengan harga murah menjadi tantangan yang sangat besar bagi PMI. Sebab, biaya terbesar untuk menjadikan darah donor siap pakai ternyata ada pada kantong darah dan reagent.
Padahal, Indonesia masih mengimpor kantong darah. Memang, pernah ada wacana dari mantan Wapres Jusuf Kalla yang kini menjadi ketua umum PMI untuk membangun sendiri pabrik kantong darah. Tetapi sampai sekarang, impian itu belum terlaksana. Setiap tahun Indonesia membutuhkan kira-kira 2,5 juta kantong darah, sesuai jumlah darah yang dikelola PMI.
Menurut standar WHO, jumlah persediaan darah yang ideal di suatu negara berkisar 3-5 persen jumlah penduduk. Dengan hanya 2,5 juta kantong darah per tahun, berarti Indonesia baru bisa memenuhi sekitar 1 persennya saja.
Thailand sudah mampu mencapai angka 3,5 persen. Negara-negara maju seperti Jepang dan AS sudah bisa mencapai angka ideal tersebut.
Meski baru mencapai 3,5 persen, PMT sudah ditunjuk WHO sebagai pusat pelatihan bagi unit-unit transfusi darah se-Asia Tenggara. Itu merupakan bukti kehebatan manajemen pengelolaan darah di Thailand.
Kecanggihan manajemen NBC, yang merupakan pusat penanganan dan pengelolaan darah di PMT, memang harus diakui. Salah satunya dalam menekan harga jual darah ke masyarakat.
Sebagaimana yang sudah saya sebutkan dalam tulisan kemarin, harga jual darah di Thailand merupakan yang termurah di dunia. Mereka bisa mencapai itu karena memproduksi sendiri kantong darah. Sebanyak 50 persen kebutuhan kantong darah di Thailand dipenuhi pabrik milik PMT. Sisanya mereka beli dari pabrik lain yang juga berlokasi di Thailand. Dengan begitu, mereka tak perlu membayar bea masuk yang biasanya sangat tinggi.
Begitu pula dengan reagent. PMT juga tidak mengimpor atau membeli dari pabrik lain. Mereka punya pabrik sendiri. Begitu pula untuk beberapa jenis serum.
Yang masih harus diimpor sampai saat ini adalah bahan untuk pembuatan plasma. Itu pun sudah direncanakan untuk dibuat sendiri oleh PMT. Sungguh sebuah pemikiran bisnis yang luar biasa.
Khusus untuk serum, PMT memiliki unit khusus untuk memproduksi serum anti-bisa ular, bisa serangga mematikan, dan bisa binatang lain. Ada sekitar 3.000 ular berbagai jenis yang dipelihara di kompleks PMT yang terletak di Jalan Henry Dunant, Bangkok.
Setiap hari dilakukan pengambilan bisa dari ular-ular itu. Proses pengambilan bisa tersebut dimanfaatkan untuk menarik turis. Untuk menyaksikan proses itu, orang harus membayar tiket. Penghasilan mereka dari turis yang melihat pengambilan bisa atau sekadar melihat pertunjukan ular itu relatif besar.
Penghasilan unit tersebut jadi semakin besar setelah bisa-bisa ular itu menjadi serum. Sebab, serum-serum tersebut tidak hanya digunakan untuk kepentingan PMT sendiri, tapi juga diekspor ke negara-negara lain.
Karena hampir semua kebutuhan dibuat sendiri, tidak mustahil bila PMT bisa menjual produk darah siap pakainya dengan harga amat murah.
Pembuatan kantong darah dan peralatan medis seperti slang infus dan filter untuk dialisis (cuci darah) membutuhkan tingkat sterilitas yang luar biasa, melebihi sterilnya kamar operasi.
Saking sterilnya, bukan hanya sistem pendingin dan penyedotan udara (exhauser)-nya yang dibuat khusus, tapi juga tingkat sterilitas pegawainya. Karena itu, jangan heran kalau seluruh pegawai di bagian tersebut diharuskan mengenakan seragam khusus yang menyerupai astronot, cuci tangan dan mengeringkannya di tempat khusus, serta harus melewati pintu khusus yang dilengkapi alat pensteril pakaian dan tubuh.
Bukan hanya itu. Para pegawai tersebut juga tidak boleh mengenakan bedak atau perias wajah lain, cat kuku, perhiasan apa pun, serta memanjangkan kuku selama bekerja.
Begitu sterilnya pabrik kantong darah itu, seluruh tamu yang datang harus menandatangani pernyataan untuk tidak membeberkan semua yang dilihat di ruang produksi.
Maklum, memproduksi kantong darah tidaklah mudah. Selain steril, kantong darah harus dilapisi zat khusus untuk menjaga agar darah dan komponennya tidak membeku atau berubah sifat selama berada dalam kantong. Karena itu, kantong darah memiliki masa kedaluwarsa yang relatif pendek, sehingga hanya dibuat berdasar pesanan.
source : http://www.radarlampung.co.id